watch sexy videos at nza-vids!
WWW.CERITAINDO.SEXTGEM.COM

Find us On Facebook and Twitter
facebook.jpg | twitter.jpg

PULANG MUDIK

Sejak berkeluarga dan tinggal di Bogor aku selalu
sempatkan pulang mudik menengok orang tua
dan mertuaku di Yogyakarta setiap hari raya Idul
Fitri. Biasanya kami mudik seminggu sebelum
hari rayanya, agar kami bisa puas merayakan
lebaran di sana. Aku mudik seringnya dengan
mobil sendiri. Saat anak-anakku masih kecil aku
sendiri yang menyetir hingga sampai ke rumah
orang tua kami. Saat anakku beranjak besar dan
remaja, gantian merekalah yang bawa mobil.
Kalau pulang mudik aku paling senang lewat
jalur selatan yang tidak begitu ramai dan jarang
ada kemacetan. Hal yang paling kusukai adalah
saat aku melewati desa Redjo Legi menjelang
masuk ke kota Purworejo. Di situ tinggal
pamanku, biasa kupanggil dengan Pak Lik. Dia
adalah adik sepupu bapakku. Aku sangat akrab
dengannya karena anak Pak Lik yang paling tua,
pernah kuliah di kotaku dan tinggal di rumah
orang tuaku.
Kalau hari libur semesteran, aku sering diajaknya
pulang ke Redjo Legi untuk mencari belut. Depan
halaman rumahnya yang hingga kini merupakan
sawah yang terbentang luas, menyediakan
banyak belut untuk kami tangkap dan kami
goreng. Nostalgia macam itulah yang
membuatku selalu menyempatkan diri, mampir
ke rumah Pak Lik setiap kali aku pulang mudik.
Tidak ada yang begitu berubah di rumah Pak Lik
sejak dulu. Rumahnya yang berdinding gedek
kulit bambu itu terasa sangat nyaman. Bagusnya
dinding gedek macam itu adalah fungsi sirkulasi
udaranya yang sangat bagus, disebabkan
gedeknya bercelah-celah, karena jalinan
bambunya yang tidak mungkin bisa rapat benar.
Kemudian di pagi hari, sinar matahari akan
menembus celah-celah gedek itu, sehingga
panasnya cukup untuk membangunkan kami,
yang tentunya masih bermalas-malasan di
amben. Suatu istilah setempat untuk balai-balai
tempat tidur, yang terbuat dari bambu. Hanya
saja rumah itu sekarang terasa lebih lega
disebabkan renovasi yang dilakukan Pak Lik
beserta istri.
Pak Lik sendiri walaupun saat ini usianya sudah
lebih dari 50 tahun, tepatnya 54 tahun, 12 tahun
di atas umurku dan 18 tahun di atas umur
istriku, sosoknya masih gagah dan sehat.
Tubuhnya yang 180 senti itu tampak tegap,
kekar dan berisi. Khas tubuh seorang petani dan
guru bela diri.
Empat tahun yang lalu Bu Lik meninggal dunia
karena sakit sehingga kini Pak Lik menjadi duda.
Untuk menopang kegiatannya sehari-hari, Pak
Lik dibantu pelayan kecil dari kampungnya untuk
mencuci pakaiannya dan masak ala kadarnya.
Apabila sudah tidak ada lagi yang dikerjakannya,
dia pulang ke rumahnya yang tidak jauh dari
rumah Pak Lik. Kedua anaknya sendiri sudah
bekerja di lain kota, dan mereka baru pulang
kalau lebaran tiba. Sama seperti tradisi di
keluargaku umumnya. Akhirnya Pak Lik menjadi
terbiasa hidup sendirian.
Sanak saudaranya yang lain termasuk aku,
sering menyarankannya untuk kawin lagi. Agar
ada perempuan yang membuatkannya kopi di
pagi hari atau menjadi pasangannya saat
bertandang ke acara keluarga. Namun sampai
saat ini Pak Lik masih belum juga menemukan
jodohnya yang sesuai. Walaupun pendidikannya
cukup tinggi, waktu itu sudah menyandang titel
BA atau sarjana muda, kegiatannya sehari-hari
adalah bertani dan mengajari seni bela diri
kepada anak-anak tetangganya. Dalam hal
bertani, dia menggarap sendiri sawahnya yang
cukup luas ini.
Tahun ini aku dan istriku terpaksa pulang mudik
berdua saja. Anak-anakku punya acara sendiri
bersama teman-temannya yang susah aku
pengaruhi untuk ikut menemani kami. Ya,
sudah. Aku tidak suka memaksa mereka.
Ketiganya sedang beranjak dewasa dan harus
bisa belajar mengambil keputusan sendiri.
Menjelang masuk kota Kroya jam menunjukkan
pukul 2 siang saat aku merasa agak demam.
Tubuhku melemah dan kepalaku mulai terasa
pusing. Sambil berpesan agar menyupirnya
tidak usah buru-buru, istriku memberi obat
berupa puyer anti masuk angin yang selalu dia
bawa saat bepergian jauh. Sesudah aku
meminumnya, rasa tubuhku agak lumayan dan
pusingku sedikit berkurang. Tetapi tetap saja
tidak senyaman kalau tubuh sedang benar-benar
sehat. Menjelang masuk gerbang desa Redjo
Legi menuju rumahnya Pak Lik, aku merasakan
sakitku tak tertahankan lagi. Kupaksakan terus
jalan pelan-pelan hingga tepat jam 5 sore,
mobilku memasuki halaman rumah Pak Lik yang
seperti biasanya, menyambut kami dengan
sepenuh kehangatan.
Ketika dia tahu aku sakit, dia panggil embok-
embok di kampungnya yang biasa mijit dan
kerokan. Suatu kebiasaan orang Jawa kalau sakit,
tubuhnya dikerok dengan mata uang logam
untuk mengeluarkan anginnya. Ketika sakitku
tidak juga berkurang, dengan ditemani istriku,
Pak Lik mengantarkanku pergi ke dokter yang
tidak jauh dari rumahnya. Dalam perjalanan ke
sana, tiba-tiba hujan turun dengan lebatnya. Tak
urung tubuh kami bertiga pun menjadi basah.
Untungnya jarak kami dengan klinik dokter itu
sudah dekat, sehingga kami bisa cepat berteduh
di sana. Tanpa khawatir pakaian kami menjadi
basah kuyup karenanya.
Dari dokter itu, aku diberi obat dan disuruh
banyak istirahat. Selesai berobat, ternyata hujan
masih tetap deras di luar sana. Agak lama
menunggu, Pak Lik menjadi tak sabar. Dia
berinisiatif untuk pulang duluan, bermaksud
menjemput kami dengan mobilku. Aku dan
istriku kompak keberatan dengan rencananya itu.
Meskipun klinik sang dokter tidak begitu jauh dari
rumah Pak Lik, sekitar 5 kiloan, kami merasa
sangat tidak enak hati. Kami merasa telah banyak
merepotkannya sejak kedatangan kami tadi. Pak
Lik yang baik hati itu tetap bersikeras, hingga
akhirnya kami mengalah.
Aku memperhatikan kepergiannya dengan
perasaan khawatir bercampur kagum. Perasaan
khawatir muncul karena aku tidak ingin paman
kesayanganku itu jatuh sakit karena hujan-
hujanan. Sedangkan kekagumanku timbul
melihat sosoknya saat ini. Kemeja kausnya yang
basah kuyup oleh air hujan, membuat tubuhnya
yang atletis itu tercetak jelas. Ketika pandanganku
menoleh ke samping, aku bisa melihat pancaran
kekaguman yang sama tersiar dari wajah istriku.
Dik Narti segera mengubah arah pandangannya
begitu tahu aku memperhatikannya.
Dalam perjalanan pulang, tak sengaja aku melirik
ke arah istriku. Kuperhatikan wanita itu tak lepas-
lepasnya mengagumi Pak Lik secara diam-diam.
Apalagi saat menjemput kami, Pak Lik hanya
mengenakan kaus singlet tipis dan celana jeans
biru ketat. Seakan-akan dia ingin memamerkan
ketiaknya yang berbulu lebat, dan tubuhnya
yang terpahat sempurna. Seketika itu juga aku
merasa cemburu dan tidak nyaman dengan
tingkah istriku itu....
Sepulangnya dari dokter, lagi-lagi Pak Lik
membuatku takjub atas kebaikan hatinya.
Dibantu istriku, Pak Lik merepotkan dirinya
dengan menyediakan makan malam untuk kami
bertiga. Waktu makan malam itu kami pakai
untuk mengobrol dan bersenda gurau penuh
keakraban, melepas kerinduan. Ketika kami
menanyakan di mana anak-anaknya, dengan
senyuman ramahnya yang khas, Pak Lik
menjawab bahwa keduanya masih memiliki
kesibukan di kotanya masing-masing. Kesibukan
itulah yang membuat mereka tidak bisa pulang
mudik tahun ini. Seusai makan malam, istriku
menyuruhku meminum obat. Tak lama aku
langsung diserang kantuk yang luar biasa.
Rupanya dokter telah memberikan obat tidur
padaku bersamaan dengan obat demamnya.
Akupun langsung tertidur pulas.
Sekitar pukul 10 atau 11 malam, aku tidak begitu
pasti, aku dibangunkan oleh suara berisik amben
bambu, disertai suara desahan dan lenguhan
halus dari kamar sebelah. Kantukku masih
sangat terasa. Aku meraba-raba istriku tetapi tak
kutemukan dia berbaring di sampingku. Aku
menduga mungkin perempuan itu sedang
buang hajat di kamar mandi belakang. Di rumah
Pak Lik, kamar-kamarnya memang tidak
dilengkapi lampu. Cahaya dalam kamar cukup
didapat dari imbas lampu besar di ruang tamu.
Ruangan yang berbatasan dengan ruang
keluarga itu, membuat cahayanya dapat tembus
ke ruangan-ruangan lain di dalam rumahnya.
Suara amben yang terus mengganggu telingaku,
ditambah suara desahan dan lenguhan yang
semakin keras, memaksaku mengintip ke celah
dinding di samping kananku.
Apa yang kemudian kulihat di sana langsung
memukul diriku. Akupun menjadi terpana dan
limbung. Kepalaku yang pusing karena sakit
langsung kambuh seketika. Aku kembali terkapar
dengan jantungku yang berdegup cepat.
Benarkah sepasang manusia yang sedang asyik
bergumul setengah bugil itu Pak Lik dan Dik
Narti? Benarkah istriku telah tega
mengkhianatiku? Benarkah Pak Lik yang kebaikan
hatinya selalu membuatku takjub kepadanya,
orang yang selalu menghiburku jika sedang
sedih, orang yang baru saja mengantarkanku ke
dokter, sedang menggauli istriku saat ini?
Perempuan yang seharusnya dianggap sama
dengan keponakannya juga?
Apakah kekuranganku Dik Narti? Karena
kesibukan kerja yang selalu merampas waktuku,
membuatmu merasa berhak untuk menerima
kenikmatan seksual dari orang lain? Termasuk
dari pamanku sendiri? Apakah memang karena
itu, sebagaimana yang sering kamu keluhkan
padaku? Ataukah Pak Lik yang sudah 4 tahun
menduda yang memulainya terlebih dahulu? Dia
merayumu dan kamupun tak mampu
menolaknya? Lelaki tua yang macho seperti
diakah lelaki idamanmu?
Ah, sejuta pertanyaan yang aku tidak mampu
menjawabnya karena semakin menambah
pusing kepalaku. Sementara suara berisik dari
amben itu menjadi semakin tak terkendali.
Rintihan halus Dik Narti dan desahan berat Pak
Lik juga terdengar semakin jelas di telingaku. Aku
tak mampu bangun karena obat yang kuminum
tadi dapat membuatku limbung kalau tidak ada
yang menolongku. Aku hanya mampu
mengintip dari celah dinding itu, tak mampu
lebih jauh mencegah tindakan tak senonoh dari
pasangan laknat tersebut.
Di sana kulihat Pak Lik sedang asyik mengayun-
ayunkan kontolnya, yang ukurannya
membuatku takjub, ke lubang memek istriku.
Dia melakukannya sambil menciumi bibir Dik
Narti sepenuh nafsu. Sialan! Kenapa bisa-bisanya
saat ini aku merasa takjub pada kontol pamanku
sendiri? Kepada lelaki tua yang jelas-jelas telah
mengkhianati diriku dengan menggauli istriku?
Tetapi memang kuakui, kontol pamanku itu pasti
akan membuat lelaki mana saja yang
melihatnya, iri....
Selain gede, panjang dan kelihatan keras, kontol
itu dihiasi dengan urat-uratnya yang
bersembulan di sekujur batangnya. Kepalanya
yang bagaikan topi helm para tentara dan bentuk
batangnya yang melengkung ke atas, membuat
kontol cokelat muda itu terlihat sempurna di
mataku.
Sementara itu sambil tetap berpelukan, tangan
Dik Narti terus memeluk kepala Pak Lik.
Perempuan binal itu tampaknya berusaha
memastikan agar bibir-bibir mereka tetap saling
berpagutan. Saling melumat dan menghisap.
Suara kecupan saat bibir yang satu terlepas dari
bibir yang lain terdengar terus beruntun. Di
bawah sana, ayunan kontol Pak Lik yang
semakin dalam menghujam memek istriku,
membuat ambennya terdengar semakin berisik.
“Pak Lik, Pak Lik, enaakk Pak Lik.. teruss Pak Lik..
oocchh.. hhmm.. Pak Lik..”
Duh, rintihan Dik Narti yang begitu menikmati
derita birahinya, membuat kepalaku seakan
terpukul-pukul palu. Darah yang naik ke
kepalaku, membuat pusingku semakin
menghebat. Sementara di kamar sana, desahan
Pak Lik sendiri tidak kalah hebatnya. Sebagai lelaki
sehat yang telah menduda selama 4 tahun, tentu
kandungan libidonya sangat menumpuk. Bukan
tidak mungkin dialah pelakunya. Dia merayu
istriku karena dia tahu aku tidak akan mudah
terbangun karena obat demam yang kutelan ini.
”Ssshhh... oohhh... oohh... enakkee, memekmu
Dikkhh...” ujar Pak Lik.
”Aahh... sshhh... yaahh... terusshh... Pak...
lagihhh... ooohh.. oohhh… lebihh…
keraasshhh….” balas istriku.
Kulihat buah dada istriku yang besar dan ranum,
dengan pentilnya yang tegak mengacung, sudah
terbongkar dari balik kausnya. Itu pasti ulah nakal
Pak Lik sebelumnya. Dia membetotnya keluar
untuk dilumati, dihisap, dan diremas-remas.
Kedua pentil susu istriku itu pastilah sudah basah
kuyup oleh lumuran ludah pamanku. Ketiak-
ketiak istriku tampak sangat sensual saat dia
memegang erat kepala Pak Lik dan meremasi
rambutnya. Ketiak-ketiak itu pastilah sudah
merasakan jilatan lidah pamanku, yang sejak tadi
aktif bergentayangan menebar nikmat. Kembali
aku ambruk ke ambenku.
Rasa pusing di kepalaku sangat menyakitkan.
Tanganku berusaha memijit-mijit kepalaku
sendiri untuk mengurangi rasa sakitnya. Tetapi
setiap kali aku mendengar suara erotis dari
pasangan mesum itu, akupun tergoda untuk
kembali mengintip lubang dinding di sampingku.
Kulihat kontol Pak Lik terasa semakin sesak saja
menembus memek Dik Narti. Dia tarik keluar
pelan dengan dibarengi desahan beratnya dan
rintihan nikmat Dik Narti, kemudian
mendorongnya masuk kembali dengan desahan
yang berulang. Dia lakukan itu berulang-ulang,
desahan nikmat dari keduanya juga terdengar
berulang. Kemudian kulihat tusukan kontol Pak
Lik semakin dipercepat. Mungkin kegatalan birahi
mereka terasa semakin menjadi-jadi.
Tak lama kulihat Pak Lik tidak lagi melumati bibir
Dik Narti. Dia turun dari amben dan menarik
pelan pinggul istriku ke pinggiran ambennya.
Lalu dia mengangkat salah satu tungkai kaki
istriku sehingga menyentuh bahunya yang
bidang. Dengan cara itu rupanya Pak Lik ingin
bisa lebih dalam menusukkan kontolnya ke
memek Dik Narti. Akibatnya kenikmatan yang tak
berperi melanda istriku. Dia meremas-remas
sendiri susu-susunya. Kepalanya yang
rambutnya telah acak-acakan, terus bergoyang
ke kanan dan ke kiri, menahan siksa nikmat yang
tak terhingga.
Melihat itu hatiku menjadi semakin panas. Mereka
benar-benar biadab. Mereka sudah tidak lagi
memperhitungkan aku, suami sahnya dan
keponakannya yang kini berada di kamar
sebelah, tengah tergeletak karena sakit yang
membuatku merasa hampir mati....
Tiba-tiba selintas pikiran hinggap di kepalaku. Oh
begitu rupanya…..
Aku jadi paham sekarang penyebab peristiwa
terkutuk ini. Sebelum kami makan malam
bersama tadi, kami sempat bersalin pakaian
terlebih dahulu. Berbeda denganku yang
langsung menggantikan pakaianku yang basah
dengan pakaian cadangan, istriku
menyempatkan diri untuk mandi sejenak. Nah di
rumah Pak Lik, letak kamar mandi dekat dengan
dapur, hanya dibatasi satu ruangan kosong multi
fungsi. Saat istriku pergi mandi, Pak Lik memang
sedang berada di dapur untuk menyiapkan
makan malam. Aku pikir mungkin inilah awal
dari peristiwa itu. Istriku yang memang suka
dengan Pak Lik, sengaja mandi tanpa mengunci
pintunya rapat-rapat. Tentu saja bagi lelaki yang
lama menduda seperti Pak Lik, pancingan Dik
Narti itu bagaikan rejeki nomplok. Pamanku
mungkin memakai kesempatan itu untuk
mengintip istriku mandi secara leluasa.
Ketika aku kembali mengintip, tahu-tahu
keduanya sudah berganti posisi. Kali ini pamanku
sudah berbaring di atas amben kembali,
sementara istriku berada di atas tubuhnya, asyik
menungganginya. Pak Lik tampak asyik
meremasi pantat Dik Narti, sementara istriku
asyik bergerak naik-turun sambil meremasi
payudaranya sendiri.
Tak lama gerakan mereka mulai berubah lagi.
Keduanya bergerak semakin liar. Masih dengan
istriku menunggangi tubuhnya, pamanku
bangkit dan langsung membenamkan wajahnya
di gunung kembar istriku. Di sana dia sibuk
menyusui payudara istriku bergantian, yang
kanan dan yang kiri. Mendapat serangan yang
menggila itu, istriku tampak semakin histeris.
Desahan birahinya terdengar semakin keras,
membuat siapapun yang mendengarnya,
menjadi sangat terangsang. Sementara di bawah
sana, kontol pamanku tampak semakin
mengkilat saja. Berhiaskan lendir birahi istriku,
kontol itu keluar-masuk memek Dik Narti dengan
cepatnya, membuat suara ambennya semakin
keras terdengar.
Keduanya pun sudah bugil kini. Tiada lagi kaus
putih yang membungkus tubuh pamanku,
menyajikan pemandangan yang mengagumkan
dari tubuh berotot lelaki berusia setengah abad,
yang mengkilat oleh keringatnya. Begitu juga
kaus tank-top hijau dan celana dalam Dik Narti
yang tadi masih tersampir di salah satu kakinya,
sudah hilang entah ke mana. Membuat lekak-
lekuk di tubuh sintalnya terlihat semakin jelas.
Sekarang keduanya tampak sangat seksi dan...
sangat serasi! Sesuatu yang aku benci sekali
mengakuinya!!!
Pompaan kontol pamanku di memek istriku,
suara beradunya paha dengan paha, desahan
berat Pak Lik dan rintihan nikmat tak
berkeputusan Dik Narti, membuat simfoni erotis
yang terdengar sangat indah di malam yang
dingin dan sunyi ini. Kalau tadi pompaan kontol
Pak Lik tampak cepat, sekarang kulihat gerakan
mengayunnya semakin diperlambat. Rupanya
pamanku sedang mempraktekkan teknik
bercintanya yang baru. Sekitar tiga atau empat
kali pompaan biasa, dia membuat satu hentakan
keras dan bertenaga. Tampaknya dia berusaha
membuat kontolnya lebih dalam lagi menembus
memek istriku. Begitu dia lakukan berkali-kali.
Tentu saja istriku semakin histeris dibuatnya.
Istriku seakan tidak mau kalah dengan Pak Lik.
Sambil memeluk leher pamanku yang kokoh, dia
putar-putar pinggulnya secara liar, memainkan
kontol lelaki tua yang sejak tadi aktif memompa
memeknya. Desahan berat pamanku terdengar
semakin keras dan tak berkeputusan merasakan
nakalnya pantat dan pinggul Dik Narti saat
memainkan ”tongkat saktinya“. Jeleknya Dik
Narti, teknik seperti itu tak pernah dia praktekkan
kepadaku saat kami bercinta. Benar-benar setan
wanita itu!!!
Kusaksikan saat ini, mereka sudah sangat lupa
diri. Kenikmatan nafsu birahi telah
menghempaskan mereka ke sifat-sifat hewaniah
yang tak mengenal lagi rasa malu, sungkan, iba,
hormat dan harga diri. Mereka sudah hangus
terbakar oleh nafsu birahi yang menggelora.
Menjadi budak nafsu setan yang bergentayangan
di dalam diri mereka sendiri. Aku terbatuk-batuk
dan mual. Pusing kepalaku langsung
menghebat. Sementara racauan penuh nikmat
yang dari mulut keduanya, terdengar tak
berkeputusan dan semakin keras.
Dengan suara yang sengaja kukeraskan aku
mengeluarkan dahakku ke ember yang telah
disediakan, disusul dengan muntah-muntah
benaran. Aku berharap dengan tindakanku itu
segalanya pasti berhenti. Mereka akan bergegas
menolong diriku. Tetapi yang terjadi justru
sebaliknya. Suara amben itu justru terdengar
semakin berisik. Sehingga kini ada dua sumber
berisik di dalam rumah ini. Suara manusia yang
sedang tergeletak kepayahan di kamar ini dan
suara erotis manusia, berkejar-kejaran dalam
nafsu setan di kamar itu.
Aku tahu mereka dalam keadaan tanggung.
Puncak nikmat sudah dekat dan nafsu birahi
untuk memuntahkan segalanya sudah di ubun-
ubun. Mereka pasti berpikir, biarkan saja aku
menunggu di sini. Membiarkan aku sendiri
dengan gelisah, pusing, campur sakit hati akibat
dikhianati. Edannya, tak lama aku justru
terpengaruh oleh mereka.
Kontolku yang ukuran panjang dan diameternya
hanya setengah dari kontol Pak Lik telah
terbangun dari tidurnya. Walaupun pusing di
kepalaku masih tetap menghebat, kontolku
berdiri dengan tegangnya, terangsang oleh
desahan erotis yang sangat memukau dari
kamar sebelah. Aku berusaha mati-matian untuk
meredam kontolku yang terus menegang gara-
gara suara erotis itu, sebelum akhirnya aku
kembali tergoda untuk mengintip kembali. Aku
ingin tahu sejauh mana pamanku itu bisa
memuaskan Dik Narti, perempuan yang kuat
sekali syahwat hewaniahnya.
Saat kembali aku mengintip, keduanya sedang
berancang-ancang untuk berubah posisi lagi.
Rupanya gairah seksual yang menggebu-gebu
membuat stamina mereka seakan tiada
batasnya. Masih dengan pamanku berbaring di
atas amben, istriku segera memutar tubuhnya.
Kepalanya mengarah ke selangkangan Pak Lik,
sedangkan selangkangannya dia arahkan ke
kepala pamanku. Oooo... rupanya mereka ingin
saling menjilati kemaluan lawan mainnya, posisi
69...
Kembali desahan berat dan rintihan nikmat
terdengar saling bersahutan. Wajah Dik Narti
tampak timbul tenggelam di antara selangkangan
pamanku, begitu pula sebaliknya. Dalam posisi
ini mereka terlihat saling berlomba memberikan
kepuasan dalam menikmati kemaluan
pasangannya. Hisapan, jilatan dan kocokan
tangan istriku di kontol pamanku beradu cepat
dengan jilatan, hisapan, dan tusukan jari-jari
kekar Pak Lik di memek Dik Narti....
Posisi cabul yang baru itu sontak membuat
hatiku tambah panas saja. Dik Narti selalu
menolak perintahku untuk mengulum kontolku
dengan berbagai alasan. Sebaliknya terhadap
pamanku, dia melakukannya dengan senang
hati. Lihatlah itu... betapa intensnya dia menjalari
batangan kaku dan kekar milik pamanku dengan
lidahnya... Betapa semangatnya dia menyedot-
nyedot ’helm tentara‘nya... Betapa tekunnya dia
menghisap-hisap ’kantung menyan’ Pak Lik...
Betapa wajahnya sangat menikmati kegiatan
cabulnya itu...
Sebaliknya Pak Lik seakan tidak mau kalah. Dia
tak hanya menjilat, menghisap dan menusukkan
jari-jarinya ke lubang memek istriku saja. Pak Lik
juga turut menjilati lubang anus istriku sambil
sesekali jari-jarinya yang kasar menusuk
lubangnya. Membuat erangan nikmat keduanya,
terdengar semakin keras bersahut-sahutan.
Sekali lagi aku hanya bisa merutuk dan merutuk
melihat kenyataan itu. Sungguh bangsat
pasangan laknat itu!!!
Adegan seru itu tidak berlangsung lama. Begitu
dirasanya puas, mereka berganti posisi lagi.
Masih di atas amben, keduanya segera
memposisikan diri. Tak lama mereka sudah
kembali bergoyang-goyang. Mereka bercinta
dalam gaya anjing di kamar itu. Hanya saja
bukan lubang memek istriku lagi yang menjadi
sasaran keganasan kontol Pak Lik, melainkan
lubang anus Dik Narti...
Kulihat Dik Narti tampak termehek-mehek.
Merasakan betapa nikmatnya lubang anusnya,
dijejali kontol sebesar itu. Memang ada sedikit
bayangan rasa pedih di wajah cantiknya, tetapi
perempuan binal itu justru menyemangati Pak
Lik agar lebih liar lagi dalam memompa
anusnya...
”Aaahhhsss... aahhhsss.... aaahhhsss...
Teeerrruussshhh... Paakkk...
Eennnaaakkkhhhh...“
’’Hhhoohhhh... hhhooohhhh... Diiikkksss....
Diikkksss... apaanyaahhh... yaanngghh...
hhhooohhh... ooohhh... Ennaaakkkhhh...?“
pancing pamanku.
“Ittuuhhh... ooohhh.... aaahhhsss...
kooonnntttooolll... Paakkkhhh... Liiikkkhhhsss...
Eennnaaakkhhh...“ sahut Dik Narti.
“Mmaassaaahhh sssiiihhh caannnttiikkkhhh...
Ennnaaakkkhhh... aahhh... betuuulllsss...
ennnaaakkkhhh... kontoolllsshhhkkuuu...
iiinnniiihhhh?“ ujar Pak Lik dengan terus
menyodok anus istriku tanpa ampun.
“Aaahhhsss... ooohhh... aaahhhsss...
bbbeeennnaaarrrkkkhhh... aaakkkhhh...
aaahhh...
Eennnaaakkkhhh.... sssuumpppaaahhh...“ balas
istriku dengan matanya yang merem melek
keenakan.
Kuakui lubang anusnya masih perawan, karena
Dik Narti selalu menolak kalau anusnya dientot
olehku. Bangsat!!! Hanya itulah ungkapan yang
pantas mewakili kekesalan hatiku saat ini kepada
Dik Narti....
Gerak dan ayun pasangan laknat itupun sampai
di puncaknya dalam posisi ini. Begitupun
ekspresi di wajah mereka. Ketampanan wajah
Pak Lik dan kecantikan wajah Dik Narti menjadi
jelas terlihat. Desahan berat pamanku bersahut-
sahutan dengan erangan histeris istriku,
merasakan nikmatnya anal seks itu. Rambut Dik
Narti yang indah dijadikan tali kekang oleh tangan
kanan Pak Lik. Sementara tangan kirinya,
memegangi pinggul istriku sambil aktif
mengocok lubang memeknya dengan jari-
jemarinya. Sedangkan kedua tangan istriku
mencengkram pinggiran amben itu dengan erat.
”Pppaakkk… Liiikkkhhh… ooohhh… terusshhh…
Paakkk… eennnaaakkk… Paaakkkk…”
”Ooohhh… Dddiiikkk… Ooohhh… ooohhhh…
aaannnuuusss… mmmuuhhh… eeennnaaakkk…
banggeeetttt… ”
”Ooohhh… terussshhh… aaahhh… terussshhh…
Paaakkk… Leebiiihhh… Keraassshhh… Aaahhhh…
Aaahhh… Laaggiiihhhh…. ”
Ketika ejakulasi mereka akhirnya hadir, suara-
suara di rumah ini benar-benar gaduh. Aku yang
muntah-muntah tanpa henti dengan suaraku
seperti seekor babi yang sedang disembelih
bercampur dengan suara histeris Pak Lik
bersama Dik Narti, meraih orgasme mereka
secara beruntun, diakhiri ejakulasi yang datang
hampir bersamaan. Untuk sesaat suara amben
masih terdengar berisik untuk kemudian reda
dan sunyi, berganti dengan suara-suara kecupan
bibir, suara pujian saling memuja, dan suara
nafas yang tersengal-sengal. Sementara di
sebelah sini aku masih mengeluarkan suara dari
batukku disertai dengan rasa mau muntah yang
keluar dari tenggorokanku.
Tak lama istriku muncul di pintu. Dipegangnya
kepalaku.
’Ah, kok semakin panas mas, obatnya diminum
lagi ya?’ katanya.
Kemudian dengan kuat tangannya meringkus
kepalaku dan memaksakan obat cair itu masuk
ke mulutku. Aku terlampau lemah untuk
menolaknya. Saat jari-jarinya memencet
hidungku, aku yang mengalami kesulitan nafas,
terpaksa menelan habis seluruh obat yang
disuapkannya ke dalam rongga mulutku.
Kemudian disuruhnya aku minum air hangat.
Sebelum air itu habis kuteguk aku sudah kembali
jatuh tertidur pulas. Praktis aku tidak punya alibi
sedikitpun atas apa yang selanjutnya terjadi di
rumah ini hingga 6 jam kemudian saat aku
terbangun.
Jam 9 pagi esoknya aku terbangun lemah.
Pertama-tama yang kulihat adalah dinding di
mana aku mengintai selingkuh istriku dengan
Pak Lik. Aku marah pada dinding itu. Kenapa
begitu banyak lubangnya sehingga aku bisa
mengintip. Aku juga marah pada diriku sendiri,
kenapa aku yang sakit ini masih-masihnya
tergoda untuk mengintip ke dinding itu.
Menyaksikan istriku yang sedang asyik
menanggung nikmat, digojlok secara brutal oleh
pamanku. Tapi saat aku ingin teriak karena
teringat peristiwa semalam, Dik Narti muncul di
pintu kamar. Pandangan matanya terasa sangat
lembut dan perhatian. Dia mendekat dan duduk
di ambenku. Dia ganti kompres di kepalaku
dengan elusan tangannya yang lembut sambil
berkata,
“Mas Roso (begitu dia memanggilku) semalaman
mengigau terus. Panas tubuhnya tinggi. Aku jadi
takut dan khawatir. Pak Lik bilang supaya aku
ambil air dan kain untuk mengompres kepala
Mas Roso”
Mendengar mulutnya menyebut ‘Pak Lik’ yang
aku ingat betul sama persis nada dan
pengucapannya saat dia asyik bergelut dengan
pamanku semalam, seketika itu darahku
mendidih. Tanganku seketika mencekal blusnya.
Aku ingin sekali menampar wajahnya yang
cantik itu. Tetapi senyum teduhnya kembali hadir
di bibirnya.
“Hah, apa lagi mas, apa lagi yang dirasakan,
sayang?” ucapnya lembut tanpa prasangka
apapun atas perlakuan kasarku barusan,
menatapku dengan air mukanya yang anehnya
tampak tetap suci bersih.
Langsung didih darahku surut. Aku tak mampu
melawan kelembutan sikap dan senyumnya
yang menawan itu. Kutanyakan padanya di
mana Pak Lik sekarang, dengan bola mata
berbinar Dik Narti menjawab pamanku sedang
berada di sawahnya. Hari ini giliran dia untuk
membuka pematang agar air sungai mengalir ke
sawahnya. Dia juga bilang agar aku banyak
istirahat saja dulu. Dia sudah menelepon orang
tua di Yogya dari HPku, mengabarkan bahwa
aku sakit dan akan istirahat dulu di Redjo Legi
selama 3 hari ke depan. Rupanya demamku
sangat parah sehingga aku harus dirawat di
Redjo Legi selama 3 hari penuh. Kemudian dia
beranjak dan kembali dengan sepiring bubur
sum-sum, aku disuapinya.
Aku jadi berpikir apa yang sesungguhnya terjadi
tadi malam. Apakah panas tubuhku yang sangat
hebat, telah membawaku ke alam mimpi?
Sampai-sampai aku menggigau sepanjang
malam sebagaimana kata istriku, ataukah
perselingkuhan Pak Lik dengan istriku itu
memang benar-benar sebuah kenyataan?
Kembali kepalaku berputar-putar rasanya. Istriku
kembali mencekokiku dengan obat yang
dibawanya. Akupun kembali tertidur.
Sebelum aku terlelap benar, istriku dengan
penuh kasih memeluk kepalaku. Dia mengelus-
elus kepalaku sambil mendekatkannya ke
dadanya. Pada saat itu aku merasakan semburat
aroma yang lembut menerjang ke hidungku.
Aroma yang sangat kukenal, aroma ludah dan
sperma lelaki yang telah mengering. Aroma itu
menguar dari payudaranya dan bagian lain
tubuhnya. Obat tidurku tak memberi
kesempatan padaku untuk melek lebih lama. Aku
kembali pulas tertidur.
Selanjutnya selama 3 hari ke depan, setiap
malam aku selalu benar-benar terlelap, sehingga
tak lagi tahu apa yang sedang terjadi di antara
mereka, Pak Lik dan Dik Narti, selama sisa hari-
hari itu. Saat berpamitanpun, aku tidak melihat
tanda-tanda mencurigakan itu dari wajah
keduanya saat mereka sedang berpamitan.
Keduanya berpisah secara sewajarnya.
Sampai kini, 6 bulan sesudah peristiwa itu, aku
tetap tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi.
Apakah peristiwa mesum itu hanyalah
khayalanku belaka atau memang benar-benar
terjadi? Aku tidak mempunyai alibi apapun untuk
mempertanyakan keinginan tahuku pada istriku.
Juga tidak punya keberanian untuk itu. Aku
sangat khawatir akan kehilangan dirinya. Yang
mungkin bisa dan perlu aku lakukan adalah
memilih jalur utara yang padat saat pulang
mudik yang akan datang. Juga seterusnya.
Namun yang pasti, jika dugaanku benar istriku
dan Pak Lik berselingkuh, aku yakin keduanya tak
akan berhenti sampai di situ saja. Perselingkuhan
itu pasti akan terus berlangsung, entah sampai
kapan....
TAMAT


Adult | GO HOME | Exit
1/968
U-ON

inc Powered by Xtgem.com